Sabtu, 13 Agustus 2011

50 Tahun IPM, Perjuangan Perempuan dan Akses Gerakan dalam Mengantisipasi Diskriminasi

0 komentar
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, perempuan selalu mengambil bagian dan peran yang sangat berarti sesuai zamannya. Pada zaman penjajahan, dimana masyarakat Indonesia menjadi bual-bualan bangsa asing, dan mengekploitasi seluruh kekayaan bangsa. Pada masa penjajahan Belanda, lahirlah panglima perang dan pejuang wanita, sebagai pahlawan nasional. Pada perjuangan sosial dan budaya,lahir tokoh-tokoh yang memperhatikan peningkatan kemampuan wanita dengan berjuang melawan ketertinggalan wanita pada saat itu, melalui pendidikan.
Dalam proses merebut kemerdekaan bangsa dari penjajahan, peranan perempuan sangat besar dengan melahirkan sebuah gerakan perlawanan melalui kegiatan politik dan keagamaan dengan mendirikan organisasi -organisasi sebagai sarana dan wadah perjuangan. Semangat dalam memperjuangkan kemerdekaan yang pernah diprakarsai kaum perempuan ini artinya tingginya kesadaran dan semangat parstisipasi aktif kaum perempuan dalam kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam literature sejarah Indonesia, perjuangan kaum perempuan dalam mewujudkan kemerdekaan sudah diupayakan sejak lama. R. A. Kartini sebagai represntasi perempuan dalam mengupayakan emansipasi. Tidak hanya kartini saja yang terkenal dengan kegelisahannya akan kondisi perempuan, akan tetapi perjuangan serupa juga diproklamirkan oleh Rohana Kudus, perempuan minang yang berupaya mengangkat derjat kaum perempuan yang terkungkung
Subordinasi dengan meyakini bahwasanya laki-laki adalah segala-galanya dan perempuan adalah mahluk lemah merupakan pemahaman budaya, dan tafsir agama yang sangat tekstual dan bergumur dalam kepentingan politik, sehingga tidak salah ketika birokrasi juga mempunyai sumbangsih dalam menekan hak-hak perempuan. Parstisipasi perempuan dibatasi, dan tidak sedikit hak-hak pendidikan kaum perempuan tidak terakomodir. Perempuan hanya dijadikan ajang kepentingan dan kepuasan semata. Dan itu jelas tidak ada keadilan sama sekali.
Saparinah Sadli di dalam bukunya Berbeda Tetapi Setara (2010) mengungkapkan, seorang anak perempuan akan mengalami dilema jika nilai sosial, mitos, dan stereotip tentang perempuan menempatkan perempuan inferior terhadap laki-laki atau kalau perempuan menghadapi kenyataan bahwa ia dibatasi dalam memilih peran sosialnya dibandingkan dengan laki-laki. Ini dapat menimbulkan konflik di dalam diri perempuan ataupun orang-orang disekitarnya. Sebagai anak perempuan, ia sebenarnya telah belajar untuk menilai tinggi berbagai sifat dan perilaku pereempuan. Akan tetapi, ia kemudian mengalami, lingkungan budayanya justru menilai peran sosial perempuan tidak setinggi peran sosial laki-laki.
Diskriminasi terhadap perempuan menjalar keranah paling muda kehidupan sosial bangsa, yaitu ranah pendidikan yang seutuhnya adalah masyarakat pelajar. Hak-hak kependidikan pelajar putri masih banyak dibatasi, sehingga pengembangan kualitas mereka tidak seintens laki-laki. Tidak jarang dari mereka menjadi objek kekerasan (seksual, fisik,psikis), mereka dijadikan biang kerok akan degradasi moral anak bangsa. Jika tidak ada upaya preventif, mitra kesejajaran hanya mimpi belaka dan sangat utopis sekali terwujud ketika stigma masyarakat masih bertahan dengan “primitive perception“.
Ikatan Pelajar Muhammadiyah dalam aktivitas pergerakannya, merupakan represntasi kegelisahan kaum pelajar terhadap realitas sosial yang sering terpampang di depan mata, mulai dari kekerasan, diskriminasi, subordinasi dan pendikotomian antara laki-laki dan perempuan. Dari semula berdirinya Ikatan Pelajar Muhammadiyah, senantiasa membangun relasi dan peranan perempuan sungguh sangat berarti dan selalu menjadi mitra strategis dalam mengupayakan emansipasi, genderisasi disegala lini. Untuk itu butuh kerjasama kita semua dalam mewujudkan “Mitra Kesejajaran”.
Dalam Tanfidz muktamar Ikatan Pelajar Muhammadiyah 2010, salah satu agenda aksi yang dirumuskan adalah “gerakan Equal Acces”. Dimana IPM sangat respon terhadap kondisi sosial masyarakat, yang masih mendikotomikan antara fungsi sosial laki-laki dan perempuan, dan meletakkan perempuan pada posisi logistik, seakan-akan persoalan nurture adalah sesuatu yang kodrati. Interpretasi Equal Acces tidak hanya berkuti diranah issue keperempuanan, akan tetapi IPM juga peka dalam memperjuangkan hak-hak Difable (atau masyarakat yang berkemampuan berbeda), karena selama ini pembangunan-pembangunan disegala lini tidak juga mementingkan masyarakat difable. dari kegelisahan itulah Ikatan Pelajar Muhammadiyah benar-benar beri i’tikad baik dalam meperjuangkan masyarakat termarginalkan
Lima puluh tahun, langkah perjuangan gerakan pelajar yang mengusung nilai-nilai sosial dan ke-Islam-an. Layaknya usia puncak kejayaan, tidak membuat aktualisasi nilai organisasi IPM terhenti. Akan tetapi akselarasi dalam aksi semakin tertata rapi. Sehingga lahirlah katalisator ulung dalam mengemban masa depan ummat dan bangsa ini.

0 komentar:

Posting Komentar